Senin, 29 November 2010

10 Kejanggalan Kasus Gayus Versi Kompas!


Gayus Tambunan

JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada 10 fakta kejanggalan yang terjadi dalam pengungkapan skandal mafia pajak dengan tersangka pegawai pajak Gayus HP Tambunan. Kejanggalan ini baik dari segi kasus hingga para penegak hukum.
Peneliti hukum ICW Donald Faris, Minggu (21/11/2010), di kantor ICW, Jakarta, mengungkapkan 10 kejanggalan tersebut. Inilah kejanggalan dan analisa versi ICW.

Pertama, Gayus dijerat pada kasus PT SAT dengan kerugian negara Rp 570.952.000, dan bukan pada kasus utamanya, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar, sesuai dengan yang didakwakan pada Dakwaan Perkara Pidana Nomor 1195/Pid/B/2010/PN.JKT.Sel.
"Pemilihan kasus PT SAT diduga merupakan skenario kepolisian dan kejaksaan untuk menghindar dari simpul besar kasus mafia pajak yang diduga menjerat para petinggi di kedua institusi tersebut. Kasus PT SAT sendiri amat jauh keterkaitannya dengan asal muasal kasus ini mencuat, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar milik Gayus," kata Donald.
Dikatakan Donald, pernyataan ini sulit dibantah karena secara faktual beberapa petinggi kepolisian, seperti Edmon Ilyas, Pambudi Pamungkas, Eko Budi Sampurno, Raja Erizman, dan Kabareskrim dan Wakabareskrim, hingga kini tidak tersentuh sama sekali. Padahal, dalam kesaksiannya, Gayus pernah menyatakan pernah mengeluarkan uang sebesar 500.000 dollar AS untuk perwira tinggi kepolisian melalui Haposan. Tujuannya, agar blokir rekening uangnya dibuka.
Kedua, Polisi menyita save deposit milik Gayus Tambunan sebesar Rp 75 miliar. Namun, perkembangannya tidak jelas hingga saat ini. "Hingga saat ini, keberlanjutan pemeriksaan atas rekening lain milik Gayus dengan nominal mencapai Rp 75 miliar menjadi tidak jelas. Polisi terkesan amat tertutup atas rekening yang secara nominal jauh lebih besar," kata Donald.
Ketiga, kepolisian masih belum memproses secara hukum tiga perusahaan yang diduga menyuap Gayus, seperti KPC, Arutmin, dan Bumi Resource. Padahal, Gayus telah mengakui telah menerima uang 3.000.000 dollar AS dari perusahaan tersebut.
"Kepolisian seolah tutup kuping dari kesaksian Gayus di persidangan terkait kepemilikan rekening Rp 28 miliar yang berasal dari KPC, Arutmin, dan Bumi Resource. Hingga saat ini kepolisian belum memproses ketiga perusahaan tersebut. Padahal, Gayus sudah menyatakan bahwa dia pernah membuat Surat Pemberitahuan Pajak Pembetulan tahun pajak 2005-2006 untuk KPC dan Arutmin. Alasan kepolisian belum memproses kasus ini adalah belum cukup alat bukti. Alasan ini dinilai ICW mengada-ada. Kesaksian Gayus di persidangan dinilai sudah cukup menjadi sebuah alat bukti yang sah di mata hukum," kata Donald.
Keempat, Kompol Arafat dan AKP Sri Sumartini sudah divonis bersalah. Namun, petinggi kepolisian yang pernah disebut-sebut keterlibatannya oleh Gayus belum diproses sama sekali. "Pihak kepolisian melokalisir kasus ini hanya sampai perwira menengah. Baik Kompol Arafat maupun AKP Sumartini seolah dijadikan tumbal dalam kasus tersebut. Padahal, mereka hanyalah pemain kecil dan tidak berkedudukan sebagai pemegang keputusan. Polri terkesan melindungi keterlibatan para perwira tinggi," kata Donald.
Kelima, Kepolisian menetapkan Gayus, Humala Napitupulu, dan Maruli Pandapotan Manulung sebagai tersangka kasus pajak PT SAT. Namun, penyidik tak menjerat atasan mereka yang sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. "Hal ini merupakan bagian dari konspirasi tebang pilih penegak hukum kepada pelaku kecil dan tidak memiliki posisi daya tawar yang kuat. Selain ketiga tersangka tersebut, berdasarkan SK Direktorat Jenderal Pajak No: KEP-036/PJ.01/UP.53/2007, paling tidak ada dua nama yang seharusnya juga bertanggung jawab, yaitu Kepala Subdirektorat Pengurangan dan Keberatan Johny Marihot Tobing dan Direktur Keberatan dan Banding Bambang Heru Ismiarso," kata Donald.
Keenam, pada 10 Juni 2010 Mabes Polri menetapkan Jaksa Cirus Sinaga dan Poltak Manulang sebagai tersangka kasus suap dalam kasus penggelapan pajak yang dilakukan Gayus. Namun, tiba-tiba, status Cirus berubah menjadi saksi. "Perubahan status ini dicurigai sebagai bentuk kompromi penegak hukum untuk menjerat pihak-pihak yang sebenarnya diduga terlibat. Hal ini amat mungkin terjadi karena dimensi kasus Gayus yang amat luas hingga pada petinggi kepolisian," kata Donald.
Ketujuh, Kejagung melaporkan Cirus ke kepolisian terkait bocornya rencana penuntutan. Namun, hal ini bukan karena kasus dugaan suap Rp 5 miliar dan penghilangan pasal korupsi serta pencucian uang dalam dakwaan pada kasus sebelumnya. "Di satu sisi, langkah Kejagung ini menimbulkan pertanyaan, kenapa yang dilaporkan adalah kasus bocornya rentut, bukan kasus penghilangan pasal korupsi dan pencucian uang. Langkah ini diduga sebagai siasat untuk melokalisir permasalahan dan mengorbankan Cirus seorang diri," kata Donald.
Kedelapan, Dirjen Pajak enggan memeriksa ulang pajak perusahaan yang diduga pernah menyuap Gatys karena menunggu novum baru. Padahal, menurut Donald, pernyataan Gayus perihal uang sebesar 3.000.000 dollar AS diperolehnya dari KPC, Arutmin, dan Bumi Resource, bisa dijadikan sebuah alat bukti karena disampaikan dalam persidangan.
Kesembilan, Gayus keluar dari Mako Brimob ke Bali dengan menggunakan identitas palsu. Menurut Donald, hal ini menunjukkan dua kejanggalan. Pertama, kepolisian tidak serius mengungkap kasus Gayus hingga tuntas sampai  ke dalang sesungguhnya. Kepolisian juga belum tuntas untuk mencari persembunyian harta Gayus sehingga konsekuensinya dia begitu mudah bisa menyogok aparat penegak hukum. Kedua, Gayus memiliki posisi daya tawar yang kuat kepada pihak-pihak yang pernah menerima suap selama dia menjadi pegawai pajak.
Kesepuluh, Polri menolak kasus Gayus diambil alih KPK. Padahal, kepolisian terlihat tak serius menanggani kasus tersebut. Penolakan ini telah terjadi sejak Maret 2010. Saat itu, Kadiv Humas Polri Brigjen Edward Aritonang mengatakan, Polri masih sanggup menangani kasus tersebut. "Nyatanya, Gayus malah berpelesir ke Bali," katanya.

Rabu, 24 November 2010

Mengurbankan Gayus, Menyembelih Generasi Korup


Pedih, bagai tersayat sembilu, kira-kira itulah yang dirasakan masyarakat tanah air menyaksikan penyiksaan maha hebat seorang TKW, Sumiyati, yang dilakukan oleh majikan jahanam di Arab Saudi. Ironi bertambah semakin menjadi-jadi ketika di satu sisi kerja keras TKI yang setengah mati -dalam arti sebenarnya-disandingkan dengan kerja korup aparat Ditjen Pajak, Pegawai Negri Sipil yang masih muda namun kekayaannya sudah menembus angka seratus miliyar lebih, dialah jahanam Gayus Tambunan.

Hari-hari belakangan ini, makhluk bernama Gayus kembali menjadi bulan-bulanan media massa. Tak pelak ia pun menjadi orang yang paling menjijikan dan dibenci masyarakat Indonesia. Saking menjijikannya, Aburizal Bakrie pun emoh didekatkan-dekatkan dengannya. Ibarat penyakit menular, mereka yang sempat bersentuhan dengan Gayus niscaya akan menuai masalah. Karutan Makobrimob beserta beberapa anak buahnya telah menjadi korban yang kesekian. Mereka tersangkut masalah hukum karena patut diduga keras terlibat langsung dalam keluar-masuknya sang tahanan mafia pajak tersebut.

Seperti diberitakan sebelumnya, Gayus tertangkap basah sedang menonton pertandingan tenis di Bali padahal seharusnya ia di tahanan karena masih menjalani sidang atas kasus yang menimpa dirinya yaitu; penggelapan pajak, suap, korupsi, pencucian uang dan lain-lain.

Lingkaran setan birokrasi
Aparat kita memang mudah disuap atau menyuap. Tentu saja tidak semuanya, akan tetapi pasti banyak yang suka, begitu kata Iwan Fals. Situasi ini kemudian membentuk generalisasi pencitraan akan birokrasi Indonesia yang buruk dan korup. Apa yang terjadi dalam kasus Gayus bukanlah cerita baru, karena masih banyak kasus serupa atau lebih besar yang tidak atau belum terungkap, maupun kasus kecil-kecilan yang terjadi setiap harinya di lingkungan aparat mulai dari desa hingga pemerintah pusat.

Perilaku menyimpang yang kerap ditonjolkan birokrasi seperti; korupsi, ilegalitas, kelalaian, inefisiensi, kolusi, sogok-menyogok bisa jadi bukan lagi masalah yang bersifat moral-personal-individual. Akan tetapi masalah timbul akibat dekadensi moral-organisasional birokrasi yang sudah bersifat sistemik dan endemik. Kegagalan organisasi birokrasi membentengi diri dengan sistem yang mampu mencegah terjadinya kejahatan kerah putih, menyebabkan perilaku menyimpang diterima secara kolektif sebagai moral yang biasa atau wajar. Sehingga standar moral yang berlaku di kalangan tertentu menjadi bergeser jauh dari norma-norma sejati.

Adalah wajar merampok di sarang penyamun, bahkan aparat berkarakter idealis akan disebut sebagai pesakitan jika ia tidak ikut-ikutan. Aparat semacam ini hanya memiliki dua pilihan; bertahan atau mundur. Karena kemungkinan untuk melawan menjadi sempit ketika jumlah aparat korup lebih dominan ketimbang yang bersih sehingga dominasi dan hegemoni moral hazard yang terbentuk pun semakin pekat.

Praktik suap adalah penyakit menahun dan sistemis. Guritanya melibatkan hampir semua pejabat di berbagai level. Di samping sebagai pelaku, sebenarnya para pejabat juga menjadi korban akibat sistem yang lemah dan kotor. Sehingga tidak menutup kemungkinan ketika mayoritas birokrat berpotensi menjadi Gayus-gayus baru. Karena selain bersifat menular, secara genetis, birokrasi kita sudah menyimpan bahaya laten penyakit korupsi yang bisa kumat sewaktu-waktu.

Jangan Cuma Kambing hitam
Jika dipantau dari sudut pandang yang berbeda, sebetulnya kita patut ‘berterimakasih’ kepada Gayus yang telah membongkar banyak kebobrokan dalam birokrasi. Sehingga rahasia umum yang selama ini menjadi gunjingan di masyarakat, kini mendapatkan bukti yang terang-benderang dengan dipertontonkannya aurat demi aurat dari kelakuan para aparat penegak hukum kita. Bahkan, Mako Brimob yang katanya angker dan sangar itu pun ternyata sangat mudah menjual kebebasan kepada tahanan sehingga bisa keluar masuk seenaknya.
Karena itu, stop mengurbankan Gayus sebagai kambing hitam! Usut sampai akar-akarnya. Dalam kasus kaburnya Gayus, setidaknya memang sembilan anggota polisi sudah diberhentikan, ditahan dan menjadi terperiksa karena terindikasi menerima suap dari tahanan. Akan tetapi siapa lagi yang terlibat dalam drama pelarian tersebut belum juga tersentuh terutama di level pejabat tinggi.

Dalam satu kelakarnya, Adhie Massardi menyebut Gayus sebagai pahlawan yang patut mendapat penghargaan karena aksinya itu publik jadi tahu betapa rusaknya aparat penegak hukum kita. Menurutnya, tindakan Gayus dapat diumpakan seperti lakon Hoffman di film ‘Accidental Hero’. Dalam film ini diceritakan niat Hoffman yang bermaksud mencuri barang-barang penumpang pesawat yang sedang mengalami kecelakaan justru dianggap pahlawan karena secara tidak sengaja ia menolong korban kecelakaan pesawat tersebut dengan tindakan heroiknya. Dalam konteks ini pula Adhie berharap kepada Gayus untuk tidak berhenti membeberkan siapa-siapa yang terlibat dalam permainan mafia pajak di republik ini.

Beberapa nama tersebut dari pihak kepolisian yang sudah dan diduga keras terlibat dalam komplotan mafia pajak ialah Kompol Arafat Enanie, Kombes Pambudi Pamungkas, Brigjend Edmon Ilyas, Brigjend Raja Erizman, Komjen Susno Duadji dan lain-lain. Sedangkan jaksa Cirus Sinaga dan Fadil Regan disebut-sebut juga terlibat merekayasa kasus bersama dengan Pengacara Haposan Hutagalung dan Muhtadi Asnun si Hakim pemutus bebas kasus Gayus Tambunan di pengadilan negeri Tangerang. Kali ini bola liar kasus Gayus menggelinding di seputar jaringan bisnis Bakrie dengan disebulnya nama Deni Adrian, Direktur salah satu perusahaan Bakrie Group. Menurut pengakuan terpidana Alif Kuncoro, Deni bersama Imam Cahyo Maliki lah yang menjadi kunci penting dalam menguak mata-rantai mafia pajak dari Bakrie ke Gayus Tambunan sehingga merugikan negara hingga trilyunan rupiah. Saking banyaknya aparat dan pejabat yang terlibat, masyarakat kemudian mendesak KPK untuk segera mengambil alih kasus Gayus dari Polri. Atau jika tidak, Kapolri Baru, Jend. Timur Pradopo harus mau menyerahkan kasus Gayus kepada KPK bukan kepada Satgas karena dikuatirkan hanya akan menjadi ajang permainan politik SBY, selain citra, SBY dapat menyandera lawan politiknya melalui boneka satgas.

China, Latvia atau Potong Tangan
Korupsi di indonesia sudah mengakar dan akut. Kasus Gayus dengan segala tindak-tanduknya di tempat ia bekerja maupun di tahanan adalah fenomena gunung es yang harus segera dirobohkan. Perlu upaya terobosan yang menyeluruh dalam menumpas kejahatan kerah putih di Indonesia. Menurut Mahfud MD, negeri ini perlu belajar dari China dan Lativia yang berani melakukan ‘revolusi’ dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pemerintah China menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Lanjut Mahfud, hingga Oktober 2007 saja sudah 4800 orang pejabat China yang dijatuhi hukuman mati. Alhasil, China kini menjadi negara yang bersih. Kebijakan ini diterapkan dengan sebelumnya memberlakukan pemutihan bagi semua pejabat yang pernah melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang pernah korupsi ketika itu dianggap bersih, akan tetapi sehari setelah pemutihan begitu ada pejabat yang terbukti korupsi langsung dijatuhi hukuman mati.

Begitu pula dengan Latvia. Menurut Mahfud, sebelum tahun 1998 Latvia adalah negara yang korup. Upaya pemberantasan di negara tersebut dilakukan dengan menerapkan UU Pemotongan Generasi atau UU Lustrasi Nasional. Melalui UU tersebutlah, semua pejabat eselon II diberhentikan. Begitu juga para tokoh politik dan pejabat yang aktif pada tahun sebelum 1998 dilarang untuk aktif kembali. Kini Latvia pun menjadi negara yang bersih dari korupsi, ujar Mahfud.

Jaksa Urip divonis 20 tahun penjara karena terbukti menerima uang suap 6 miliar rupiah. Lantas bagaimana dengan Gayus yang menerima uang suap belasan kali lipat lebih besar dari yang diterima Jaksa BLBI tersebut. Jika hukum penjara tidak membuat efek kapok bagi para pelaku korupsi, kiranya Lustrasi, hukuman mati, pidana seumur hidup dan/atau pemiskinan bagi koruptor perlu diterapkan. Namun jika hukuman-hukuman tersebut masih dianggap terlalu berat karena dikuatirkan melanggar HAM, maka hukum potong tangan yang nampaknya paling pas untuk diberlakukan di Indonesia.

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. 
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Al Maidah : 38